Banyak komentar yang kudapat tentang tulisanku di atas, ada yg ditulis di comment , chatting on-line maupun omongan langsung. Sebenarnya kalo panjenengan amati, tulisannya gak kasar2 amat sih (menurut aku). Coba cermati paragraf I (Menurutku ...) itu sama sekali gak berhubungan dgn konten pragraf II (Kemarin Jumat...), apalagi dgn paragraf III (I’m not...) yg isinya adalah doa. Tapi apapun penafsiran pembaca, bikin aku pingin nulis lagi...
...
Tiga hari ini aku “nyepi” ke daerah Cipanas, Garut. Sebenarnya ‘kepaksa juga sih, soalnya emang baru nglembur berjamaah untuk nyelesaikan research design untuk 4 proyek penelitian di kantor plus 2 proyek advokasi dengan 2 buah kota di Jawa Barat. They were full-time work hours, slept at 3 a.m. and woke up at 6 a.m. But still feel guilty cause it is not 100% finished...
I had a lot of time to think clearly about what I’ve done back then. Some conflicts in the beginning of my job. Salah satunya adalah yang terjadi baru-baru ini terjadi. Aku ngerasa emang ada andil dari sisa konflik masa lalu, ditambah dengan tekanan yang muncul di tempat kerja, kurang tidur, kondisi badan baru gak fit... itu semua bikin energi negatif menumpuk, siap untuk diledakkan. Dan akhirnya energi potensial ini menemukan jalannya hari senin kemarin. Sebenarnya menurutku masalah ini gak perlu diperpanjang, tapi ada sesuatu yang menggelitikku. Aku merasa inilah cerminan hubungan yang telah terjalin selama ini. Makanya mari kita liat apa yang ada dibaliknya...
Kita mulai dengan kutipan dari temanku, dia bilang kalo setiap orang punya titik sensitif. Ketika titik itu disentuh (apalagi dipukul) maka reaksinya pun akan luar biasa berbeda dengan bila anda menyenggol titik yang lain. Nha.. barangkali inilah my sensitive point(s), I don’t know for sure, tapi ini sebuah possibility saja.
Di samping itu kita pun perlu pahami kalo batasan adalah sebuah garis imajiner yang diciptakan untuk menandai di area mana kita berada dan apakah kita boleh menerobosnya atau tidak. Analogi ini bisa diterapkan dengan konteks bercanda. Ada batasan ketika kita bercanda dan mengeluarkan lelucon terbaik kita.
Kedua hal inilah yang menurutku perlu dipahami dalam setiap hubungan sehingga gak terjatuh ke dalam kesalahpahaman apalagi permusuhan. Karena sering banget permusuhan timbul karena soal yang sepele. Maka dari itu, saya berterima kasih pada teman-teman yang mau repot-repot memahami saya. Jujur, in this life, tidak banyak orang yang mau belajar memahami orang lain. Kebanyakan yang saya temui adalah orang yang minta dipahami dan dimengerti mlulu. Cara mengenalinya sih gampang, kalo orang itu banyak pake kata “seharusnya kamu....”, “bagusnya kamu...” atau kata-kata sejenisnya yang pada hakikatnya berisi tuntutan agar orang lain menyesuaikan diri/mengikuti keinginan sang penutur. Nah dari situlah konflik berpotensi muncul !
Living together is about a harmony...
Bagaikan hidup di sebuah hutan tropis: ada pohon cemara, pinus, semak-semak, rumput, paku-pakuan, beruang, orang utan, burung, ular, manusia, dan segala macam vegetasi serta fauna. Pohon cemara butuh semak-semak; beruang butuh pohon pinus, manusia pun butuh burung dan ular. Semua saling membutuhkan. Kehilangan salah satu spesies akan membuat timpang ekosistem, merusak harmoni!! Lalu mengapa kita tidak bisa seperti mereka yang tidak akan saling menyakiti dengan sengaja, tidak pernah saling memaksakan satu sama lain, bahkan ular pun tak pernah memaksa manusia menelan seekor tikus utuh mentah-mentah seperti yang biasa dilakukannya!
Bisa nggak tuh kita hidup dalam harmoni... Bisa nggak kita saling menyayangi dan menghormati... Bisa nggak sih kita lebih berani ngomong kalo kita merasa tersakiti dan ngerasa efeknya bakalan ngganggu hubungan pertemanan... Maukah kita menghargai kehendak dan keinginan orang lain... Sanggupkah kita membangun “Unconditional Friendship” (?)
...
Tiga hari ini aku “nyepi” ke daerah Cipanas, Garut. Sebenarnya ‘kepaksa juga sih, soalnya emang baru nglembur berjamaah untuk nyelesaikan research design untuk 4 proyek penelitian di kantor plus 2 proyek advokasi dengan 2 buah kota di Jawa Barat. They were full-time work hours, slept at 3 a.m. and woke up at 6 a.m. But still feel guilty cause it is not 100% finished...
I had a lot of time to think clearly about what I’ve done back then. Some conflicts in the beginning of my job. Salah satunya adalah yang terjadi baru-baru ini terjadi. Aku ngerasa emang ada andil dari sisa konflik masa lalu, ditambah dengan tekanan yang muncul di tempat kerja, kurang tidur, kondisi badan baru gak fit... itu semua bikin energi negatif menumpuk, siap untuk diledakkan. Dan akhirnya energi potensial ini menemukan jalannya hari senin kemarin. Sebenarnya menurutku masalah ini gak perlu diperpanjang, tapi ada sesuatu yang menggelitikku. Aku merasa inilah cerminan hubungan yang telah terjalin selama ini. Makanya mari kita liat apa yang ada dibaliknya...
Kita mulai dengan kutipan dari temanku, dia bilang kalo setiap orang punya titik sensitif. Ketika titik itu disentuh (apalagi dipukul) maka reaksinya pun akan luar biasa berbeda dengan bila anda menyenggol titik yang lain. Nha.. barangkali inilah my sensitive point(s), I don’t know for sure, tapi ini sebuah possibility saja.
Di samping itu kita pun perlu pahami kalo batasan adalah sebuah garis imajiner yang diciptakan untuk menandai di area mana kita berada dan apakah kita boleh menerobosnya atau tidak. Analogi ini bisa diterapkan dengan konteks bercanda. Ada batasan ketika kita bercanda dan mengeluarkan lelucon terbaik kita.
Kedua hal inilah yang menurutku perlu dipahami dalam setiap hubungan sehingga gak terjatuh ke dalam kesalahpahaman apalagi permusuhan. Karena sering banget permusuhan timbul karena soal yang sepele. Maka dari itu, saya berterima kasih pada teman-teman yang mau repot-repot memahami saya. Jujur, in this life, tidak banyak orang yang mau belajar memahami orang lain. Kebanyakan yang saya temui adalah orang yang minta dipahami dan dimengerti mlulu. Cara mengenalinya sih gampang, kalo orang itu banyak pake kata “seharusnya kamu....”, “bagusnya kamu...” atau kata-kata sejenisnya yang pada hakikatnya berisi tuntutan agar orang lain menyesuaikan diri/mengikuti keinginan sang penutur. Nah dari situlah konflik berpotensi muncul !
Living together is about a harmony...
Bagaikan hidup di sebuah hutan tropis: ada pohon cemara, pinus, semak-semak, rumput, paku-pakuan, beruang, orang utan, burung, ular, manusia, dan segala macam vegetasi serta fauna. Pohon cemara butuh semak-semak; beruang butuh pohon pinus, manusia pun butuh burung dan ular. Semua saling membutuhkan. Kehilangan salah satu spesies akan membuat timpang ekosistem, merusak harmoni!! Lalu mengapa kita tidak bisa seperti mereka yang tidak akan saling menyakiti dengan sengaja, tidak pernah saling memaksakan satu sama lain, bahkan ular pun tak pernah memaksa manusia menelan seekor tikus utuh mentah-mentah seperti yang biasa dilakukannya!
Bisa nggak tuh kita hidup dalam harmoni... Bisa nggak kita saling menyayangi dan menghormati... Bisa nggak sih kita lebih berani ngomong kalo kita merasa tersakiti dan ngerasa efeknya bakalan ngganggu hubungan pertemanan... Maukah kita menghargai kehendak dan keinginan orang lain... Sanggupkah kita membangun “Unconditional Friendship” (?)